Langsung ke konten utama

Mati Besar VS Mati Kerdil

        


  

        Orang yang hidup untuk dirinya sendiri, kata Sayyid Quthub akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Tapi orang yang hidup untuk orang lain, akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar. Tamparan quotes ini cukup telak kita rasakan apabila kita mendapati bahwa benar diri kita selama ini memang terlalu memikirkan hidup kita sendiri.

Kita seringkali terlalu gelisah kalau besok nggak bisa makan, kita terlalu takut kalau uang persediaan hidup untuk beberapa pekan ke depan mulai menipis, atau bahkan kita juga terlalu mengkhawatirkan tentang sukses atau nggaknya diri kita di masa depan. See,.. ternyata segala usaha yang kita lakukan selama hidup ini adalah untuk diri kita sendiri.

            Tentang kesulitan yang dialami oleh orang lain, masalah-masalah yang tengah menjerat umat, lingkungan yang sedang nggak baik-baik aja, nggak masuk dalam daftar hal-hal yang kita anggap sebagai masalah kita. Kita selalu berfikir bahwa masalah-masalah tersebut ialah masalah orang lain, tentang hidup orang lain, dan nggak ada hubungannya dengan kita. Jika benar demikian, maka wajar apabila peradaban yang makmur sulit terwujud.

            Saya yakin, sebetulnya kita nggak ingin disebut sebagai orang yang kerdil, dan pasti kita inginnya menjadi orang besar, yaitu orang yang menjalani hidupnya bukan hanya untuk kehidupannya sendiri tapi juga untuk keberlangsungan hidup orang lain, bahkan keberlangsungan alam dan lingkungan yang lestari makmur sentosa. 

            Kita juga selalu ingat pesan ini, bahwa sebaik-baiknya manusia, adalah yang bermanfaat untuk orang lain. Ilmu yang kita dapatkan selama di sekolah atau universitas setinggi apapun nggak mampu membawa kita pada sebuah label manusia terbaik kalau nggak kita gunakan untuk memberikan kebaikan untuk orang lain dan alam semesta.

            Hidup untuk orang lain, bukan berarti mengabaikan urusan pribadi. Justru urusan pribadi seharusnya sudah selesai agar kita dapat menjalani kehidupan yang penuh manfaat sebagai seorang manusia terbaik. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ringkasan Buku Komitmen Muslim Sejati (Ust. Fathi Yakan) Bagian Pertama

BAB PERTAMA APA ARTINYA SAYA MENGAKU MUSLIM? Bagian pertama buku ini memaparkan karakteristik terpenting yang harus ada pada diri seseorang agar ia menjadi muslim sejati. Berikut akan di bahas secara ringkas karakteristik paling menonjol yang harus ada pada diri seorang muslim agar pengakuannya sebagai penganut agama ini merupakan pengakuan yang benar dan jujur.  Dalil: Qs. Al-Hajj:78 Karakteristik yang harus dimiliki agar menjadi seorang muslim sejati adalah sebagai berikut: Pertama : SAYA HARUS MENGISLAMKAN AKIDAH SAYA          Syarat pertama pengakuan sebagai muslim dan sebagai pemeluk agama ini adalah hendaklah akidah seorang muslim adalah akidah yang benar dan sahih, selaras dengan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan sunah Rasulullah Saw. Konsekuensi dari mengislamkan akidah saya: 1.            Saya harus meyakini bahwa pencipta alam ini adalah Allah Yang Hakim (Mahabija...

Kisah Zaky Sang Hafidz Qur’an #2 “Kabar Burung”

(Lanjutan Tulisan  Mujang Kurnia ) Oleh : Imam Maulana             Senja bukan gambaran kesedihan, namun senja hanya tak piawai ungkapkan kebahagiaan bertemu dengan sang malam. Burung-burung kembali ke sangkarnya. Angin sepertinya telah lama pergi, pergi bersama keinginan Zaky untuk menikahi wanita idamannya. Sore itu setelah usai muroja’ah surat At-Takwir di kamarnya yang berada di lantai atas rumahnya, ia kembali teringat dengan perasaanya yang pernah bersarang dalam dadanya. Perasaan ketika ia baru saja menjadi mahasiswa baru di kampusnya. Kenangan tersebut tampaknya sulit dilupakan. Waktu yang terus mempertemukan dengan wanita tersebut malah membuat perasaannya semakin menjadi-jadi. Panah asmara seperti menusuk terlalu dalam, dalam sekali. Dialah Zaky, secinta apapun ia dengan seseorang, ia tidak akan pernah mengatakannya kepada siapapun kecuali kepada Allah di setiap sujudnya. Dadanya seketika menjadi sesak, j...

Mengembalikan Atmosfir Dakwah Yang Hilang #2 “Pejuang Spanduk”

Oleh : Imam Maulana             Tetesan air masih berjatuhan dari asbes rumah besar dakwah di komplek KPN, Kota Serang. Udara dingin menyergap masuk melalui jendela yang terbuka  di ruang kestari yang tepat bersebelahan dengan ruang depan. Di ruang tersebut terdapat 2 buah meja kerja yang disusun menempel dengan jendela, dan 1 meja lagi ditempatkan di pojok ruangan. Kabel-kabel cargeran laptop dan Hp yang kusut seperti menjadi pemandangan sehari-hari di sana. Setiap harinya pun rumah besar itu selalu didatangi oleh kader-kader dakwah yang berbeda-beda dari kampus yang berbeda-beda. Dan ruang kestari menjadi ruang bersama untuk kumpul dan berbagi ilmu. Sama halnya seperti yang terjadi pada malam yang dingin itu, ruang kestari lagi-lagi dipenuhi oleh kader-kader yang mengerjakan pekerjaannya di meja kerja bersama. Hujan lebat baru saja reda, Wildan dan Suhenda masih anteng dengan netbooknya, begitupun dengan Badri yang...