Oleh : Imam Maulana
(Sekretaris Umum KAMMI Daerah
Serang)
JAS
MERAH. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Mari kita sedikit belajar dari
kisah-kisah para bapak pembesar negeri ini tempo dulu. M. Natsir, seorang menteri
penerangan tahun 1946 lebih memilih hidup sederhana dan tidak suka menumpuk
harta dari negara. Ia juga sempat menjadi perdana menteri Indonesia tahun
1950-1951. Mobil tuanya pun ia beli hasil dari menabung bertahun-tahun. Saat
menjadi menteri dalam beberapa tahun ia bersama keluarganya juga menumpang di
paviliun sahabatnya, Parwoto Mangkusaswito, di Tanah Abang.
Tokoh yang tidak asing berikutnya ialah Haji Agus Salim.
Kesederhanaanya malah mendekati miskin. Ia dan keluarganya pernah tinggal di
Gang Lontar Satu di Jakarta. Ia tidak tertarik dengan rumah yang mewah. Dan
sering berpindah-pindah rumah kontrakan selama di Yogyakarta, Surabaya dan
Jakarta. Dalam Het dageboek van Schermerhoon (Buku harian dari Schermerhoon),
Schermerhoon menggambarkan H. Agus Salim: “Orang tua yang sangat pandai ini
adalah seorang yang jenius. Ia mampu bicara dan menulis secara sempurna
sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya hanya satu : ia hidup melarat.”
Schermerhoon adalah seorang diplomat dari Belanda yang sering berdebat dengan
H. Agus Salim.
Masih banyak lagi sebetulnya sosok-sosok pejabat
sederhana yang bisa menjadi cermin bagi pejabat-pejabat Indonesia saat ini. Pejabat
itu tidak harus selamanya berkehidupan glamor. Banyak harta, rumah mewah, mobil
mahal dan sebagainya. Tapi minimal berkecukupan. Karena jika ditelisik lebih
dalam sebetulnya untuk apa seorang itu dijadikan pejabat apabila ia tidak mampu
mengedepankan kepentingan rakyat? Realitanya justru terbalik. Seolah-olah
pejabat itu adalah raja dan rakyat hanyalah pembantu hamba sahaya. Sehingga,
rakyat dibiarkan tak berdaya. Hal ini terjadi di Provinsi Banten. Provinsi yang
sekitar 15 tahun terpisah dari Jawa Barat ini lagi-lagi masih belum dikatakan
ada kemajuan. Terlihat dari pembangunan infrastruktur yang masih amburadul,
belum lagi permasalahan kesehatan, gizi buruk yang menimpa balita sedikitnya
berada di angka 8.737 balita atau sekitar 1,04 persen dari 837.857 balita. Lalu,
pada bulan September 2014, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran
perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Banten mencapai 649,19 ribu
orang (5,51 persen), meningkat 26,35 ribu orang (4,23 persen) dibandingkan
dengan penduduk miskin pada maret 2013 yang hanya sebesar 622,84 ribu orang (5,35
persen).
Gizi
buruk dan kemiskinan masih menghantui rakyat Banten. Dalam kisaran 5 hari ini
pun Banten kembali di dera bencana. Curah hujan yang tinggi menyebabkan banjir
dibeberapa titik yang ada di Provinsi Banten. Terutama di wilayah Tangerang,
Kab.Serang, Lebak dan Pandeglang. Di tengah kondisi Banten yang tengah berduka,
pemerintah provinsi Banten merencanakan anggaran yang fantastis guna sewa rumah
dinas sekretaris daerah provinsi Banten, Kurdi Matin senilai Rp.250 juta. Itu belum
ditambahkan dengan kebutuhan interior senilai Rp.405 juta. Total semuanya
sebesar Rp.655 juta. Anggaran fantastis ini tidak selayaknya dilakukan oleh
pemprov dengan kondisi Banten yang sedang berduka. Jika rencana itu tetap
dilanjutkan maka hanya akan menyakiti rakyat Banten dan dianggap tidak memiliki
pri kemanusiaan. Ini membuktikan bahwa memang pejabat-pejabat saat ini masih
berkutat dalam menangani hal-hal yang dibutuhkan untuk pribadinya. Jika membahas
kebutuhan pejabat, pemerintah begitu serius. Namun, berbeda apabila membahas
kebutuhan rakyat. Padahal kedaulatan tertinggi ada pada rakyat. Itulah yang
kemudian kita sebut dengan demokrasi. Demokrasi berada pada ranah vital dalam
pembagian kekuasaan sebuah negara. Dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari
rakyat. Maka haruslah dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Dalam UUD 1945 telah dijelaskan bahwa kewajiban negara terhadap warganya pada
dasarnya memberikan kesejahteraan hidup dan keamanan lahir dan batin sesuai
sistem demokrasi.
Seharusnya
pejabat-pejabat di Banten ini malu terhadap fakta-fakta yang terjadi di
lapangan. Permasalahan sosial tidak kunjung usai. Coba tengok sesekali ke wilayah-wilayah
pelosok Banten sana. Masih kita dapati warga yang tidak memiliki rumah, atau
memiliki pun tapi tidak layak untuk ditempati. Lantas, dianggap apa rakyat ini?
Jangan
sampai pemerintah seperti menara gading yang jauh dan tidak mau tahu akan
urusan rakyatnya. Pemerintah sendiri padahal diberikan mandat oleh rakyat. Sudah
cukup negeri ini seperti negeri autopilot. Negeri tanpa awak, berjalan seperti
tanpa ada pemimpin dan pemerintahan. Rakyat dan pemerintah seyogyanya berjalan
bersama-sama membangun dan mendorong kemajuan bangsa. Kerjasama ini kemudian
akan terjalin indah manakala keadilan membingkai semuanya. Sebagai pemerintah
memiliki tanggung jawab untuk mengurusi rakyatnya. Sebagaimana dalam sabda
Rasulullah Saw. “Setiap kalian adalah
pemimpin, yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang penguasa
yang memimpin manusia (rakyat) adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab
terhadap mereka.”(HR. Al-Bukhori no.2554). Jangankan manusia, bahkan
binatang pun yang berada dalam daerah yang dipimpinnya, seorang khalifah
bernama Abu Bakar akan bertanggung jawab terhadapnya jika terjadi apa-apa.
Sebagai
rakyat/warga negara bukan berarti bebas seenaknya ongkang-ongkang kaki menunggu
bantuan dari pemerintah. Rakyat sebagai warga negara pun memiliki hak dan kewajiban
yang harus dilakukan terlebih karena memiliki hubungan hukum dengn negara. Hubungan itu
berwujud status, peran, hak dan kewajiban secara timbal balik. Sebagai warga
negara maka ia memiliki hubungan timbal balik yang sederajat dengan negaranya.
Secara teori, status warga negara meliputi status pasif, aktif, negatif dan
positif. Peran (role) warga negara juga meliputi peran yang pasif, aktif,
negatif dan positif (Cholisin, 2000). Peran pasif
adalah kepatuhan warga negara terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Peran aktif
merupakan aktivitas warga negara untuk terlibat (berpartisipasi) serta ambil
bagian dalam kehidupan bernegara, terutama dalam mempengaruhi keputusan publik.
Peran
positif merupakan aktivitas warga negara untuk meminta pelayanan dari negara
untuk memenuhi kebutuhan hidup.Peran negatif merupakan aktivitas warga negara
untuk menolak campur tangan negara dalam persoalan pribadi.
Mengutip
dari sabda Rasulullah;“Tidaklah seorang hamba diberi amanat sebuah
kepemimpinan oleh Allah Subhanahu wata’ala, lalu meninggal dunia dalam
keadaan curang terhadap rakyatnya, melainkan Allah Subhanahu wata’ala mengharamkan
baginya surga.” (HR. Muslim no. 227, dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani radhiyallahu
‘anhu) pesan tersebut amat tegas dan lugas. Tidak mudah menjadi seorang
pemimpin atau orang-orang yang menjalani pemerintahan. Disamping mereka akan
ditagih tanggung jawab di dunia, pun kan ditagih di akhirat. Ia akan sangat
dekat dengan neraka apabila ia lalai mengurusi umat. Dan akan sangat dekat
dengan surga, apabila ia menjalani tugasnya dengan baik. Maka berhati-hatilah
siapapun yang diberikan amanah besar ini.
Komentar
Posting Komentar