Oleh :
Imam Maulana
Tetesan air masih berjatuhan dari asbes rumah besar
dakwah di komplek KPN, Kota Serang. Udara dingin menyergap masuk melalui
jendela yang terbuka di ruang kestari
yang tepat bersebelahan dengan ruang depan. Di ruang tersebut terdapat 2 buah
meja kerja yang disusun menempel dengan jendela, dan 1 meja lagi ditempatkan di
pojok ruangan. Kabel-kabel cargeran laptop dan Hp yang kusut seperti menjadi
pemandangan sehari-hari di sana. Setiap harinya pun rumah besar itu selalu
didatangi oleh kader-kader dakwah yang berbeda-beda dari kampus yang
berbeda-beda. Dan ruang kestari menjadi ruang bersama untuk kumpul dan berbagi
ilmu.
Sama
halnya seperti yang terjadi pada malam yang dingin itu, ruang kestari lagi-lagi
dipenuhi oleh kader-kader yang mengerjakan pekerjaannya di meja kerja bersama.
Hujan lebat baru saja reda, Wildan dan Suhenda masih anteng dengan netbooknya,
begitupun dengan Badri yang tak kalah lengket jarinya untuk memijat keyboard
netbook birunya. Fajrudin masih tenggelam dalam kekhusyuannya membaca Al-qur’an
di aula, dekat ruang kestari. Refki yang sejak selesai sholat Isya duduk di
sofa tampak serius membaca buku yang berjudul ‘Leiden!’, katanya dia sedang
persiapan untuk menjadi pembicara pada acara Bedah Kampus oleh KAMMI
Kom.Untirta yang akan diselenggarakan beberapa hari lagi. Sukatno yang duduk di
samping Refki memintanya untuk menceritakan isi buku yang sedang ia baca. Lalu
Refki pun menceritakan isi buku itu dengan menggebu-gebu. Buku itu merupakan
kumpulan biografi singkat beserta kisah heroik para tokoh-tokoh dunia, seperti
Mahatma Gandhi, Soekarno, Agus Salim, Hasan Al-Banna, Syekh Ahmad yasin dan
banyak tokoh dalam dan luar negeri lainnya. Saya yang duduk di lantai yang
berhadapan dengan Refki dan Sukatno terpaksa menutup buku yang sedang saya
baca, berjudul ‘Renovasi Negeri Madani’. Mata dan telinga saya, saya fokuskan
pada Refki yang sedang menjelaskan buku yang ia baca.
setelah
dipastikan rintik hujan tak lagi terdengar, kami bertujuh segera menyiapkan
peralatan dan segala yang diperlukan untuk memasang spanduk sebuah kegiatan
yang akan diselenggarakan pada 4 hari ke depan, tepatnya pada hari Minggu di
Rumah Dunia. Ya, kami memang pada malam itu berencana untuk memasang spanduk di
beberapa titik yang ada di Kota Serang. Kami hentikan segala aktivitas dan
bergegas pergi dari rumah besar itu. Sesaat kami ingin keluar, Raidhil datang
bersama motor Vega R merahnya. Seperti biasa, dia datang dengan menjinjing
plastik putih, kali ini dia membawa 4 botol Floridina, minuman mirip Pulpy
Orange. Setelah beberapa dari kami mencicipi minuman yang segar itu, dalam
sekejap kami pun telah meninggalkan rumah besar itu. Kami tinggalkan Raidhil
untuk istirahat. Ya, dia tampak kelelahan, mungkin terlalu banyak pekerjaan
yang ia harus selesaikan sebagai Wakil Presiden mahasiswa Untirta saat itu.
Kami pun memakluminya.
Titik
pertama yang menjadi target pemasangan spanduk adalah di Alun-Alun barat kota
Serang. Malam itu alun-alun barat Serang terlihat ramai oleh penjual dan
pembeli yang memenuhi trotoar alun-alun yang menghadap tepat di depan gedung
Pemkab Serang yang sepi sesepi pendaftaran calon bupati kab.Serang yang akan
diselenggarakan bersamaan dengan pilkada serentak 2015. Hanya ada satu pasang
calon yang sah terdaftar sebelumnya. Namun setelah perpanjangan waktu, akhirnya
calon lain yang sebelumnya mendaftar tapi tidak sah, dinayatakan sah untuk
menjadi peserta pilkada. Itu artinya pilkada kab.Serang bisa diselenggarakan
pada tahun ini itu pun jika pada proses verifikasi pasangan calon bupati dan
wakil bupati kab.Serang tidak ada yang didiskualifikasi karena ketidak validan
data.
Lampu
temaram pinggir alun-alun sukses berfungsi untuk menerangi aktivitas mereka di
tengah gelapnya kota Serang. Padahal sebetulnya trotoar tidak boleh digunakan
untuk berdagang, tapi kalau di fikir ulang, lantas para pedagang harus
berjualan di mana lagi melihat tidak adanya lokasi yang disediakan khusus untuk
mereka.
Saat
sampai di alun-alun barat Serang itu, kami memilih untuk membagi menjadi dua
tim. Saya dan Refki mendapat tugas di wilayah arah Pakupatan, dan sisanya tetap
di alun-alun, karena spanduk yang harus dipasang lumayan cukup besar harus
memakai bambu sebagai pengokohnya.
Semakin
malam, kota berslogan Serang Madani itu semakin dingin. Lampu-lampu hiasan
Asmaul Husna yang berjajar di jalan protokol kota serang masih berdiri tegak,
meskipun tampak tidak terawat. Semakin malam, pengendara motor maupun mobil
semakin berani menerabas lampu merah dengan kecepatan tinggi. Semakin malam,
Alfa mart dan Indomart yang menjamur di kota Serang mulai tutup bergantian.
Saya dan Refki memasang spanduk dengan telaten di belokan jalan setelah Rs.
Sari Asih, depan kampus Untirta dan depan terminal Pakupatan.
Setelah
spanduk terpasang di wilayah arah Pakupatan da Alun-Alun, kami kembali kumpul
bersama dan melanjutkan untuk pemasangan spanduk di daerah Palima. Perjalanan
cukup jauh, di tengah perjalanan motor yang saya kendarai bersama Refki
tiba-tiba mogok. Motor Vega R merah milik Raidhil itu rupanya kehabisan bahan
bakar, terpaksa harus di bantu dorong (step) dengan motor Mio putih
milik Badri sampai ke pom bensin Palima.
Seluruh
spanduk telah terpasang pada tempatnya. Sebelum pulang ke rumah besar, kami
mengisi perut yang sejak tadi menuntut untuk di isi. Kami memilih nasi uduk di
arah ke Pasar Rau. Meskipun jam menunjuk pukul 02.30, warung nasi uduk itu
masih terlihat ramai.
Komentar
Posting Komentar