Langsung ke konten utama

Teman


Oleh : Imam Maulana

Apakah aku temanmu? Kalau begitu mari lanjutkan membaca tulisan ini. Teman, pada awalnya kita tidak pernah berencana untuk bertemu dan menjalani hari-hari ini bersama. Dan mungkin pada akhirnya pun kita akan berpisah tanpa sebuah perencanaan bahkan tanpa sedikitpun keinginan.

Teman, aku ingin mengatakan bahwa ternyata kau bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan saat ini dan atas kondisiku saat ini. Bagaimana bisa? Ya bisa, sangat bisa.

Saat aku sedang melakukan maksiat, kenapa kau tidak mencegahku? Malah kau biarkan, dan lebih parahnhnya lagi kau malah asik-asikkan menontonku yang tampak bodoh dimatamu. Coba kalau waktu itu kau mencegahku, mungkin aku tidak akan jauh terjerumus.

Saat aku membantah nasihat-nasihatmu, kenapa kau berhenti? Ahh waktu itu kan aku sedang emosi, jadi wajarlah kalau aku tidak mau mendengar semua ucapanmu. Tapi setelah itu sejujurnya aku hampir sadar akan nasihat yang kau berikan, tapi aku malah ditinggal sendirian.

Saat aku sakit hati kepadamu, kenapa kau ikut-ikutan sakit hati kepadaku? Saat aku kecewa kepadamu, kenapa kau juga ikut-ikutan kecewa kepadaku? Harusnya kau tidak sakit hati dengan segala kata-kataku, kalau kau sakit hati, lalu siapa lagi yang akan memberikanku pencerahan dengan kata-kata motivasimu? Harusnya kau tidak gampang kecewa. Kalau kau kecewa padaku, pada siapa lagi aku minta pendapat?

Saat aku selangkah menjauh darimu, kenapa kau malah berlari ratusan langkah menjauhiku? Apakah karena aku sudah terlalu hina untuk ditemani? Terlalu sulit untuk diingatkan? Terlalu menyakitkan dan terlalu mengecewakan bagimu?

Teman, percayalah sebetulnya dikesendirianku, aku terus mengingat-ingat ucapanmu. Aku mencoba berusaha berubah sedikit-sedikit sesuai saran-saranmu. Percayalah sebatu-batunya hatiku ini, akan bisa diluluhkan oleh doa-doamu.

Perbedaan pendapat diantara kita itu wajar. Tapi jangan sekali-kali kau membenarkan ucapanku padahal kau tahu ucapanku itu salah. Boleh jadi sebelumnya aku tidak pernah tahu bahwa ucapanku salah, maka katakanlah salah apabila aku salah.

Teman yang baik adalah teman yang mampu menjadi cermin bagi teman yang lainnya. Tapi aku tahu kelembutan hatimu, kau memilih untuk menjauhi perdebatan BENAR SALAH denganku agar aku tetap nyaman bersamamu. Kalau begitu terimakasih telah berupaya untuk tetap bersamaku , karena hanya dengan tetap bersamaku, kau bisa mengatakan yang benar pada waktu yang tepat. Semoga hidayah selalu hadir untukku.

Kalau aku terlalu cuek itu karena karakter dan aku bukan orang yang piawai menerjemahkan rasa cintaku kepadamu teman. Kalau aku dirasa tidak pernah menjadi teman yang baik, boleh jadi karena aku tidak tahu caranya. Maka ajarkanlah bagaimana cara menjadi teman yang baik.

Baiklah, aku memang terlalu memikirkan diriku sendiri tanpa memikirkan keadaanmu. Tapi jangan berhenti untuk mengajakku teman. Siapa lagi kalau bukan kau sebagai penguatku di jalan kebenaran. 😊

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ringkasan Buku Komitmen Muslim Sejati (Ust. Fathi Yakan) Bagian Pertama

BAB PERTAMA APA ARTINYA SAYA MENGAKU MUSLIM? Bagian pertama buku ini memaparkan karakteristik terpenting yang harus ada pada diri seseorang agar ia menjadi muslim sejati. Berikut akan di bahas secara ringkas karakteristik paling menonjol yang harus ada pada diri seorang muslim agar pengakuannya sebagai penganut agama ini merupakan pengakuan yang benar dan jujur.  Dalil: Qs. Al-Hajj:78 Karakteristik yang harus dimiliki agar menjadi seorang muslim sejati adalah sebagai berikut: Pertama : SAYA HARUS MENGISLAMKAN AKIDAH SAYA          Syarat pertama pengakuan sebagai muslim dan sebagai pemeluk agama ini adalah hendaklah akidah seorang muslim adalah akidah yang benar dan sahih, selaras dengan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan sunah Rasulullah Saw. Konsekuensi dari mengislamkan akidah saya: 1.            Saya harus meyakini bahwa pencipta alam ini adalah Allah Yang Hakim (Mahabija...

Kisah Zaky Sang Hafidz Qur’an #2 “Kabar Burung”

(Lanjutan Tulisan  Mujang Kurnia ) Oleh : Imam Maulana             Senja bukan gambaran kesedihan, namun senja hanya tak piawai ungkapkan kebahagiaan bertemu dengan sang malam. Burung-burung kembali ke sangkarnya. Angin sepertinya telah lama pergi, pergi bersama keinginan Zaky untuk menikahi wanita idamannya. Sore itu setelah usai muroja’ah surat At-Takwir di kamarnya yang berada di lantai atas rumahnya, ia kembali teringat dengan perasaanya yang pernah bersarang dalam dadanya. Perasaan ketika ia baru saja menjadi mahasiswa baru di kampusnya. Kenangan tersebut tampaknya sulit dilupakan. Waktu yang terus mempertemukan dengan wanita tersebut malah membuat perasaannya semakin menjadi-jadi. Panah asmara seperti menusuk terlalu dalam, dalam sekali. Dialah Zaky, secinta apapun ia dengan seseorang, ia tidak akan pernah mengatakannya kepada siapapun kecuali kepada Allah di setiap sujudnya. Dadanya seketika menjadi sesak, j...

Mengembalikan Atmosfir Dakwah Yang Hilang #2 “Pejuang Spanduk”

Oleh : Imam Maulana             Tetesan air masih berjatuhan dari asbes rumah besar dakwah di komplek KPN, Kota Serang. Udara dingin menyergap masuk melalui jendela yang terbuka  di ruang kestari yang tepat bersebelahan dengan ruang depan. Di ruang tersebut terdapat 2 buah meja kerja yang disusun menempel dengan jendela, dan 1 meja lagi ditempatkan di pojok ruangan. Kabel-kabel cargeran laptop dan Hp yang kusut seperti menjadi pemandangan sehari-hari di sana. Setiap harinya pun rumah besar itu selalu didatangi oleh kader-kader dakwah yang berbeda-beda dari kampus yang berbeda-beda. Dan ruang kestari menjadi ruang bersama untuk kumpul dan berbagi ilmu. Sama halnya seperti yang terjadi pada malam yang dingin itu, ruang kestari lagi-lagi dipenuhi oleh kader-kader yang mengerjakan pekerjaannya di meja kerja bersama. Hujan lebat baru saja reda, Wildan dan Suhenda masih anteng dengan netbooknya, begitupun dengan Badri yang...