Sebagai mahluk sosial, seseorang tidak bisa lepas dari orang
lain dalam menjalani kehidupan. Hampir setiap hari, kita melakukan interaksi
sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mungkin inilah yang
mendasari lahirnya sebuah perkumpulan sosial, dimana ada sekelompok masyarakat
yang memiliki tujuan yang sama dan bersepakat untuk bersama-sama meraih tujuan
tersebut.
Lahirnya perkumpulan sosial ini biasanya di latar belakangi oleh kesamaan nasib sepenanggungan yang dialami akibat situasi sosial yang ada. Misalnya, bangsa Indonesia sebelum meraih kemerdekaan, memiliki semangat yang sama untuk merdeka dari segala bentuk penjajahan, sebab penjajahan tersebut sangat membuat bangsa Indonesia terpuruk. Padahal diantara mereka sendiri terdapat banyak perbedaan, misalnya berbeda daerah, berbeda suku, berbedaya budaya, tetapi dipersatukan oleh nasib yang sama sehingga memutuskan untuk bersama-sama menjadi sebuah bangsa pada 28 oktober 1928, setelah sekira tiga abad melawan penjajah secara parsial kedaerahan. Kemudian akhirnya merdeka pada 17 Agustus 1945, sekaligus dikenal sebagai lahirnya negara Indonesia.
Bila sebuah bangsa/negara merupakan termasuk perkumpulan sosial (organisasi) dalam skala yang besar karena melibatkan seluruh masyarakat yang ada di wilayah negara Indonesia, ada juga perkumpulan sosial dalam skala yang lebih kecil, misalnya organisasi kepemudaan yang terdiri dari sejumlah pemuda dalam sebuah ikatan daerah/sekolah/agama/suku yang sama-sama bersepakat untuk bersatu dalam wadah guna mewujudkan tujuan tertentu.
Namun dengan banyaknya sebuah ikatan perkumpulan atau
organisasi, dengan latar belakang yang bermacam-macam, landasan ideology yang
berbeda, ada semacam potensi konflik yang apabila tidak dapat diatasi, maka
akan berdampak negatif pada kehidupan sosial, bahkan pada organisasinya
sendiri.
Bila kita mengambil pelajaran dari apa yang disampaikan oleh Fathi Yakan dalam buku Robohnya Dakwah di Tangan Da’I, menyebut ada salah satu hal yang menyebabkan bencana besar yang membahayakan itu lahir. Bencana itu adalah Fanatisme Tercela. Munculnya fanatisme baik terhadap organisasi, partai, jamaah, atau gerakan. Bencana itu, kata Fathi Yakan, merupakan bencana yang telah demikian parah sehingga membuat mata telinga kita buta dan tuli.
Meskipun yang dimaksud oleh Fathi Yakan adalah tertuju pada organisasi dakwah, namun kiranya kita juga bisa memetik pelajaran dari peringatan-peringatan Fathi Yakan yang berkaitan dengan munculnya fanatisme tercela pada organisasi dakwah maupun organisasi umum lainnya.
Fathi Yakan, mengingatkan kita sebagai pegiat organisasi bahwa fanatisme semestinya hanya diberikan kepada nilai-nilai kebenaran, bukan kepada organisasi dan tokohnya. Yang dalam hal ini Fathi Yakan, memberikan nasehat kepada organisasi Islam, bahwa seharusnya seruan dakwah itu diarahkan kepada Islam, bukan kepada lembaga atau organisasi. Sorotan dalam pembahasan ini, kata beliau, bukan berarti penolakan terhadap loyalitas kepada organisasi dan gerakan. Hanya saja, loyalitas terhadap Islam harus didahulukan atas loyaliyas kepada lembaga. Sebagaimana pula loyalitas kepada Allah Swt. Harus didahulukan atas loyalitas terhadap personel. Komitmen kepada syariat Allah harus diutamakan atas komitmen kepada berbagai aturan dan undang-undang.
Tidak dapat dipungkiri, bagaimana kita melihat hari ini, ada banyak sebagian dari kita yang fanatik berlebihan terhadap organisasi, kelompok, partai, atau manhaj. Sekalipun misalnya sama-sama organisasi dakwah, tidak menutup kemungkinan bencana ini pun lahir. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Fathi Yakan, bahwa kewajiban para pekerja dakwah pertama kali adalah menjadikan dirinya sebagai seorang muslim. Sebab, bila seseorang sudah menjadi muslim sebenar-benarnya, maka pastilah mereka akan mampu menjalin ukhuwah dan saling mencintai, meskipun berbeda manhaj ( berbeda partai politik, berbeda ormas, dll) dan pandangan atas hakikat amal islami atau aktivitas keislaman.
Namun, masih kata Fathi Yakan, jika kepekaan kelompok lebih dominan dari kepekaan Islam, rasa kesukuan lebih kuat dari perasaan iman, maka penyimpangan pun pasti segera muncul dan keutuhan kaum Muslimin pun terkoyak. Padahal Allah Swt. Mengingatkan kita dengan firman-Nya,
Janganlah kalian menjadi seperti orang musyrik, yaitu orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka berkelompok-kelompok. Setiap kelompok berbangga dengan kelompoknya itu (Ar-Rum: 32)
Begitupula kaitannya kita sebagai bangsa Indonesia yang
telah bersepakat bersatu dan memiliki sebuah piagam hasil konsensus bersama bernama
Pancasila, hendaknya juga bisa menjalin solidaritas yang kuat sebagai anak-anak bangsa
(tanpa harus merasa organisasinya lebih baik, merasa organisasinya lebih
pancasilais, merasa organisasinya lebih berjasa, dll), meskipun berbeda
organisasi, guna mewujudkan cita-cita bersama, cita-cita kemerdekaan negara republik
Indonesia yang termaktub dalam UUD 1945.
Kenapa harus berseteru di wilayah perbedaan, bila ada banyak
kesamaan yang bisa kita perbincangkan menjadi kerja-kerja produktif untuk
membangun bangsa Indonesia lebih baik?
Jangan kalian saling
mendengki, saling membenci, saling memutuskan (hubungan), dan jadilah kalian
hamba Allah yang saling bersaudara (HR. Bukhari dan Malik)
wallahualam.
Paling like dianatara tulisan yang sudah rilis ... Anatara karena ada foto atau memang mengena ini tulisan hahaa
BalasHapus